Sepenggal Kisah TKI, Siti Sempat Akan Diperkosa Saat Melarikan Diri (Bagian 2)

Sepenggal Kisah TKI, Siti Sempat Akan Diperkosa Saat Melarikan Diri (Bagian 2)


KUCHING, – Mimpi bekerja di restoran sebagai pelayan dengan gaji menggiurkan pun kandas. Alih-alih bekerja di restoran, Siti Juleha (24), ibu beranak satu asal Lampung ini terdampar di tangan majikan kasar.  

Pengalaman bekerja sebagai TKI, bukan hal baru bagi Siti. Sejak usia 14 tahun, dia sudah menikmati uang ringgit hasil kerja nya di salah satu toko sparepart mobil di Kuching, Sarawak, Malaysia.

Awalnya, Siti dijanjikan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, namun setibanya di Kuching malah dialihkan di toko sparepart. Beruntung nasib baik berpihak padanya.  

Selama tiga tahun bekerja sebagai penjaga toko, Siti mendapatkan upah yang layak dan kembali ke Indonesia. Saat itu, Siti mengaku tidak melalui perantara agen yang resmi dan hanya menggunakan paspor sebagai modal mencari kerja di perantauan.  

Sebulan di Indonesia, Siti kembali berangkat ke Malaysia. Kali ini melalui agen resmi dan dipekerjakan sebagai baby sitter di daerah Bintulu. Dua tahun bekerja di Bintulu, Siti kembali lagi ke Indonesia, dan sebulan kemudian dia diberangkatkan lagi melalui agen yang sama ke Negeri Sembilan, Kuala Lumpur.  

Dua tahun di Kuala Lumpur, lagi-lagi Siti kembali ke Indonesia, dan berselang sebulan kemudian dia kembali bekerja, tapi kali ini dia bekerja di salah satu toko perlengkapan bayi di Batam. Setahun bekerja di Batam, Siti pun pulang ke kampung halaman di Lampung, dan menikah.  

Awal kisah pilu yang dialami Siti bermula ketika dia mengutarakan niatnya untuk kembali merantau bekerja di luar negeri kepada suaminya. Padahal, saat itu anaknya baru berusia empat bulan. Sempat dihalangi sang suami, dengan alasan memperbaiki perekonomian keluarga, Siti pun akhirnya kembali merantau.  

“Terbiasa merantau ya, jadi enggak betah di rumah. Saya izin sama suami tapi sempat dihalangi,” kata Siti saat ditemui di shelter Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching, Sarawak, Malaysia, Minggu (10/4/2016).  

Akhirnya, dengan berat hati sang suami pun mengizinkan Siti berangkat pada tahun 2014. Namun, kali ini Siti berangkat melalui agen penyalur yang tidak resmi.

Siti dijanjikan sebagai pramusaji di restoran dengan gaji awal sebesar RM 600 sekitar Rp 1,8 juta dan mendapatkan cuti untuk pulang kampung.  

Kesalahan tersebut, Siti mencontohkan, ketika mengeringkan rambut sendiri, jika tidak kering, itu menjadi satu kesalahan dan dicatat majikan. Kesalahan lain, misalnya menutup jendela terdengar bunyi gesekan berderit, itu juga dijadikan kesalahan.  padahal Sitiharus bekerja hampir 24 jam dalam sehari memeras keringat dan hanya diberi kesempatan tidur selama satu jam saat menjelang subuh.

Upah yang akan dibayarkan setelah enam bulan bekerja oleh agen, juga tak kunjung didapatkannya.

“Katanya enam bulan gaji dibayar dan bisa dikirim untuk keluarga, tapi alasan majikan katanya banyak kesalahan sehingga gaji dipotong,” katanya.  

Perlakuan kasar dari majikan kerap dialami Siti di bagian kepala, terutama bagian depan, belakang, dan samping. Di dalam rumah majikan terebut, Siti bekerja bersama tiga pembantu lainnya, yang juga mengalami nasib dan perlakuan yang sama.  

Jika tak memukul dengan tangan sendiri, sang majikan tak segan menyuruh sesama rekan Siti yang menjadi pembantu untuk memukulnya di hadapan majikan. Dan jika pukulan dari rekan tersebut dianggap kurang keras, sang majikan kembali menyuruh untuk diulang kembali dengan pukulan yang lebih keras.

“Majikan bilang pukul yang keras, supaya otaknya kena dan jadi gila, jadi dia bisa lupakan itu,” ujar Siti menirukan perkataan majikannya.  

Apa yang dikatakan majikan, kata Siti, terbukti ketika salah satu rekannya asal Kalimantan yang kemudian mengalami kelainan jiwa akibat mendapat perlakuan sadis majikannya itu dan dipulangkan.

Padahal, kata dia, hanya gara-gara mengurus anjing peliharaan majikan, rekannya tersebut disiksa habis-habisan hingga menjadi gila.

Tidak jarang, rekan lainnya berharap majikan mengakhiri hidup mereka daripada mendapat perlakuan kasar setiap hari dengan kesalahan yang mereka sendiri pun tidak paham.  

Bagaimana dengan kabar anak dan suami di kampung? Selama setahun bekerja, Siti hanya diperbolehkan sebanyak dua kali menghubungi suaminya. Itupun hanya sebatas pesan singkat, dan handphone miliknya disita majikan. Dompet dan berkas lain yang dimilikinya juga disita majikan, dengan alasan yang tidak jelas.  

“Katanya setahun bekerja, bisa ambil cuti untuk pulang, bisa nengok anak, bisa dapat kabar anak. Ya saya tergiur untuk berangkat,” kata Siti.  

Dari cerita Siti, agen tenaga kerja yang membawanya tersebut awalnya mengaku sebagai penyalur resmi berbentuk perseroan terbatas dan berkantor di Jakarta. Ternyata, agen tersebut menipu dirinya dan mempekerjakan dia kepada salah satu majikan di Kuching.

“Katanya agen resmi, tapi waktu memberikan paspor ke majikan itu paspor kosong tanpa izin kerja. Ya jadinya ilegal lah itu, seolah-olah menjual orang,” ceritanya.  

Ibarat jatuh tertimpa tangga, nasib Siti kemudian semakin tidak jelas saat berada di tangan majikan.  Jangankan mendapatkan gaji, Siti saban hari mendapat perlakuan kasar.

Bahkan, sang majikan terkesan mencari-cari kesalahan yang dianggap tak masuk akal, yang ditenggarai menjadi alasan untuk tidak membayarkan gajinya.


Tidak tahan mendapat perlakuan demikian, Siti kemudian membulatkan tekad untuk kabur. Hingga akhirnya, tepat pada hari tahun baru Imlek, menjelang pagi Siti nekat memanjat pagar dan lari tanpa arah kabur meninggalkan rumah majikan.  

“Kawan-kawan saya bilang, kalau saya berhasil lari ke Konsulat, mereka minta tolong untuk dikeluarkan dari rumah itu," ucapnya.

Berhasil memanjat pagar dan berlari meninggalkan rumah bukan berarti penderitaan Siti berakhir. Kali ini dia berhadapan dengan seorang pria mengendarai sepeda motor yang awalnya menawarkan bantuan kepadanya. Namun ternyata pria tersebut tak kalah bejat dengan sang majikan.  

“Orang itu tanya saya, kamu orang Indon ya, kamu kabur ya, ayo saya antar kamu ke Konsulat,” tuturnya menirukan.  

Tanpa berfikir panjang, Siti pun mengikuti pria tersebut. Namun ternyata pria tersebut bukan membawanya ke Konsulat, melainkan ke sebuah rumah kosong.

“Dia tanya saya, mau bantu saya enggak, terus dia tiba-tiba peluk saya dan telanjang di depan saya, saya terjang dia kemudian langsung lari dan sembunyi di dalam gorong-gorong. Sedih banget kalau diingat-ingat,” ujarnya.  

Beruntung, Siti kemudian berhasil lolos dari kejaran pria yang akan memperkosanya tersebut setelah bersembunyi di dalam gorong-gorong.

Seharian dalam persembunyian, menjelang subuh dia keluar dan menuju arah perkampungan mencari bantuan. Akhirnya ada seorang perempuan yang meihat dirinya dalam keadaan kotor dan penuh lumpur, dan menyuruhnya untuk masuk kerumah.  

“Ada kakak sedang nyapu lantai pagi-pagi di rumah, dia lihat saya, tanya saya, kemudian dia mau bantu mengantar saya ke konsulat. Namanya kak Dian, orangnya baik, dia yang bantu saya,” katanya.  

Sesampainya di Konsulat, Siti kemudian menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Pihak Konsulat pun bekerja cepat dan berkoodinasi dengan kepolisian Malaysia menindaklanjuti kasus yang menimpa Siti. Tiga rekan Siti lainnya berhasil dikeluarkan dari rumah tersebut dan kemudian ditampung di Rumah Perlindungan Khas Wanita (RPKW) Kementerian Sosial Malaysia di Sabah.

Sambil menunggu kasus tersebut diselesaikan, Siti berharap gaji selama dirinya bekerja dibayarkan oleh majikan.  

Siti, hanyalah satu dari ratusan bahkan ribuan gambaran potret kekerasan yang dialami oleh pekerja migran asal Indonesia di luar negeri. 

Baca juga: Sepenggal Kisah TKI dari Balik Shelter di Kuching (Bagian 1)




Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sepenggal Kisah TKI, Siti Sempat Akan Diperkosa Saat Melarikan Diri (Bagian 2)"

Post a Comment